konsep pendidikan seni kontekstual

                        Konsep Pendidikan Seni Kontekstual


      Ekspresi estetis merupakan sifat fitrah dari manusia disamping sifat kodrat yang lain, yakni untuk mengetahui sesuatu yang benar dan menginginkan sesuatu yang baik. Dalam sejarah kehidupan manusia ada tiga pokok nilai yang senantiasa ingin dicapai yakni kebenaran (truth), kebaikan (goodness), dan keindahan (beauty). Tiga nilai tersebut merupakan satu kesatuan yang utuh dan menjadi modal untuk menjadikan hidup lebih bermakna.
Tanpa estetika hidup akan menjadi kering, hampa bahkan tidak bermakna. Belajar estetika hakekatnya adalah belajar menemukan dan memaknai nilai-nilai kehidupan. Hal ini seperti yang dikemukakan Jelantik (1999: 13-14) yang menyatakan dengan belajar estetika akan memberikan banyak manfaat, antara lain: (1) memperdalam pengertian tentang rasa indah pada umumnya dan tentang kesenian pada khususnya; (2) memperkokoh rasa cinta kepada kesenian dan kebudayaaan bangsa pada umumnya serta mempertajam kemampuan untuk mengapresiasi (menghargai) kesenian dan kebudayaan bangsa lain dan dengan demikian mempererat hubungan antar bangsa; (3) memupuk kehalusan rasa dalam diri manusia; (4) memperkokoh keyakinan dalam masyarakat akan nilai kesusilaan, moralitas, perikemanusiaan dan ketuhanan; dan (5) melatih diri untuk berdisiplin dalam cara berfikir dan mengatur pemikiran dengan sistematik, membangkitkan potensi untuk berfalsafah, yang akan memberikan kemudahan dalam menghadapi segala permasalahan, memberi wawasan yang luas dan bekal bagi kehidupan spiritual dan psikologis.
Dijadikannya seni sebagai salah satu mata pelajaran dalam kegiatan pendidikan karena seni menawarkan “sesuatu” yang tidak dapat dipenuhi oleh mata pelajaran lain. Sesuatu tersebut adalah “pengalaman estetik”, sebagaimana dikemukakan Depdiknas (2006), pendidikan seni diberikan di sekolah karena keunikan, kebermaknaan, dan kebermanfaatan terhadap kebutuhan perkembangan peserta didik, yang terletak pada pemberian pengalaman estetik dalam bentuk kegiatan berekspresi/berkreasi dan berapresiasi melalui pendekatan: “belajar dengan seni,” “belajar melalui seni” dan “belajar tentang seni.” Peran ini tidak dapat diberikan oleh mata pelajaran lain. Hal ini sejalan dengan pendapat Feld (1984), pendidikan seni secara multidimensional dapat pula mengembangkan kemampuan dasar manusia, seperti fisik, perseptual, intelektual, emosional, sosial, kreativitas, dan estetik. Pengalaman estetik dianggap penting karena manusia merupakan makluk estetikus, yakni makluk yang berkeindahan. Karena pengalaman estetik yang ditawarkannyalah, maka pendidikan seni hadir. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa esensi pendidikan seni terletak pada pemberian pengalaman estetik.
Sejalan dengan pemikiran di atas, tujuan pendidikan estetika ialah membimbing pertumbuhan pribadi manusia, disamping membuat harmonis kepribadiannya dalam kelompok sosial. Dan untuk itu pendidikan estetika menjadi sangat fundamental. Pendidikan estetis hakaketnya berfungsi : (1) menjaga/memelihara kemampuan segala macam persepsi dan sensasi; (2) mengkoordinasikan berbagai cara persepsi dan sensasi, antara yang satu dengan yang lainnya dalam hubungannya kepada lingkungan; (3) mengekspresikan perasaan dalam bentuk yang dapat dikomunikasikan; (4) mengespresikan dalam wujud bentuk dari segala macam pengalaman mental (Katjik, 1973: 7).
Ditinjau dari relevansi seni sebagai media pengembangan kreativitas, sifat-sifat imajinasi dan permainan yang melekat pada seni menegaskan suatu kebebasan berkhayal serta dalam bentuk pengungkapannya. Disiplin seni adalah disiplin yang ‘membebaskan’, disiplin yang senantiasa lebih baik dari pada tidak disiplin dan/atau disiplin ketat tanpa hati nurani. Itulah sebabnya mengapa pendidikan seni ditempatkan sebagai bagian dalam pendidikan secara umum. Pendidikan seni adalah pendidikan yang akan membawa kebanggaan dan keangunggan jasmaniah dan rohaniah, dan oleh karena itu seni seharusnya menjadi dasar pendidikan: ‘that art should be the basic of education’, demikian kata Herbert Read mengutip thesis Plato (Rohendi, 2000: 33-34).
Pada tingkatan sosial, pendidikan ekspresi estetika seyogyanya mampu meyadarkan peserta didik bahwa bentuk-bentuk visual yang mereka cipta membantu mengungkapkan identitas mereka, juga keanggotaan mereka dalam suatu kelompok/masyarakat. Bentuk-bentuk visual juga dalam banyak hal menandai peristiwaperistiwa penting dalam kehidupannya, sekaligus merefleksikan kebutuhan fisik dan ekspresif dalam kehidupan sehari-hari. Tugas guru seni budaya adalah membantu peserta didik menjadi sadar tentang aneka ragam bentuk rupa, tarian, nyanyian dan bentuk-bentuk seni lainnya, sehingga dengan demikian mereka mampu membentuk dan mengekspresikan perasaannya sesuai dengan potensi sumber daya sosial dan budaya yang menjadi lingkungannya.
Dalam perkembangan global saat ini, ada dua sisi dilematis yang sulit diakomodasi dalam pendidikan seni budaya sekarang ini. Di satu sisi adalah kuatnya minat masyarakat (lokal dan global) terhadap pentingnya memahami budaya setempat (lokal), dan disisi lainnya adalah sistem pendidikan seni yang berjalan belum mengarah pada kepentingan tersebut. Ketidaksesuaian ini terjadi karena bahan ajar pendidikan seni sejak semula tidak didasarkan pada keberagaman budaya lokal yang tersebar di seluruh pelosok negeri.
Harus diakui bahwa sistem pendidikan kita saat ini merupakan warisan pemerintah kolonial. Karena itu pendekatan yang digunakan berdasarkan persepsi Eropa Barat, kendatipun materinya berbeda. Dalam bidang-bidang ilmu pengetahuan umum dan eksakta, hal ini tidak menjadi soal karena dasar ukuran keilmuannya berasal dari Barat dan tidak culture spesific. Akan tetapi, dalam bidang kebudayaan, persoalannya lebih sulit. Jika mata pelajaran seni budaya yang diajarkan di sekolah berdasarkan kaidah seni Barat Modern (yang salah kaprah sering dianggap ’universal’ atau ’standart’ seperti bidang ilmu), maka kaidah itu akan berhadapan dengan nilai-nilai spesifik yang terdapat dalam setiap budaya lokal. Hal ini dapat mengakibatkan kesenian lokal dianggap ’seni yang kurang bermutu’ atau bahkan dianggap bukan seni.
Akhirnya banyak seni budaya kita yang adi luhung dan dapat dimanfaatkan dalam segala aspek kehidupan, tercerabut dari akarnya dan tumbang satu persatu. Untuk itu, pendidikan seni budaya harus didudukkan kembali sesuai tempat dan fungsi yang sebenarnya, didasarkan pada konteks kesenian dan kebudayaan masyarakatnya dimana sekolah itu berada agar peserta didik tidak tercerabut dari ’akar budayanya’. Saat ini bangsa Indonesia menjadi bangsa yang kehilangan jati diri karena tidak berkembang dari akar budaya yang kuat. Budaya-budaya lama sudah pudar, budaya baru belum terbentuk kokoh. Yang ada hanya budaya ngambang tanpa bentuk, kecualai budaya pop yang suka meniru (budaya imitasi dan konsumtif).
Dengan sendirinya apabila hal ini tidak segera diatasi, dalam jangka panjang bangsa Indonesia akan menjadi bangsa yang rapuh. Gejala tersebut pada saat ini mulai tampak, terutama bangsa ini sudah mulai tertinggal dengan bangsa-bangsa berkembang disekitarnya.
Secara substansial pendekatan pendidikan seni budaya dalam Kurikulum Nasional masih berdasar pada kaidah seni Barat. Titik tolak penggolongan seni, seperti musik, tari, teather dan rupa adalah contoh mendasar. Ketika kategori disiplin seni itu berhadapan dengan fenomena lokal, akan ditemukan ketidaksesuaian. Seni Wayang di Jawa (seni pertunjukan yang pemainnya mendongeng/bercerita, kadang menyanyi, main musik gamelan, bergurau dengan penonton, dan didukung dengan karya wayang yang kaya dengan cita estetika), adalah salah satu contoh yang tidak dapat dikelompokkan pada keempat katregori tersebut. Dengan demikian perlu dilakukan sinkronisasi antar cabang seni dalam pendidikan seni budaya melalui pendekatan secara terpadu melalui ’tema/ topik’ sehingga pemahanan seni dan budaya menjadi lebih utuh (holistik) dan bermakna.
Bila kita cermati, sampai sekarang implementasi pendidikan seni dan budaya kita di sekolah masih jauh dari acuan budaya lokal, yakni budaya yang berdasarkan pada kenyataan. Karena kesenjangan itulah, perlu dilakukan terobosan pengembangan model pendidikan seni dan budaya yang berbasis budaya.
Dalam pembelajaran ekspresi estetika, kontekstualisasi sangat mustahil dilepaskan dari konteks kebudayaan daerah, mengingat seni merupakan salah satu produk budaya. Sebaliknya dengan pembelajaran ekspresi estetika yang berbasis budaya akan menciptakan pembelajaran yang lebih bermakna, dan anak tidak tercerabut dari akar budayanya. Pentingnya pendidikan seni kontekstual tersebut juga dinyatakan oleh Kerry Freedman dalam artikelnya Artistic Developmen and Curiiculum: Sociocultural Learning Consideration yang menyatakan bahwa setiap pembelajaran terkait dengan konteks tertentu. Artinya, kegiatan pemberian pengalaman esetetik idealnya harus dikaitkan dengan konteks sosiokultural yang melingkupinya.
Pembelajaran seni budaya memiliki peranan dalam pembentukan pribadi atau sikap mental peserta didik yang harmonis, sebab pembelajaran seni budaya memfokuskan diri pada kebutuhan perkembangan anak dalam mencapai multikecerdasan yang terdiri atas kecerdasan intrapersonal, interpersonal, visual spasial, musikal, linguistik, logik matematik, naturalis serta kecerdasan adversitas, kecerdasan kreativitas, kecerdasan spiritual dan moral, dan kecerdasan emosional.
Muatan seni budaya sebagaimana yang diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan tidak hanya terdapat dalam satu mata pelajaran karena budaya itu sendiri meliputi segala aspek kehidupan. Dalam mata pelajaran seni budaya, aspek budaya tidak dibahas secara tersendiri tetapi terintegrasi dengan seni. Karena itu, mata pelajaran seni budaya pada dasarnya merupakan pendidikan seni yang berbasis budaya. Dalam kontek inilah konsepsi tentang seni harus dibangun/dikonstruk melalui bekal pengalaman anak yang dibentuk oleh konteks budayanya.
Pendidikan seni budaya juga memiliki sifat multilingual, multidimensional, dan multikultural. Multilingual bermakna pengembangan kemampuan mengekspresikan diri secara kreatif dengan berbagai cara dan media seperti bahasa rupa, bunyi, gerak, peran dan berbagai perpaduannya. Multidimensional bermakna pengembangan beragam kompetensi meliputi konsepsi (pengetahuan, pemahaman, analisis, evaluasi), apresiasi, dan kreasi dengan cara memadukan secara harmonis unsur estetika, logika, kinestetika, dan etika. Sifat multikultural mengandung makna pendidikan seni menumbuhkembangkan kesadaran dan kemampuan apresiasi terhadap beragam budaya nusantara dan mancanegara.
Dalam pendidikan seni budaya, aktivitas berkesenian harus menampung kekhasan tersebut yang tertuang dalam pemberian pengalaman mengembangkan konsepsi, apresiasi, dan kreasi. Semua ini diperoleh melalui upaya eksplorasi elemen, prinsip, proses, dan teknik berkarya dalam konteks budaya masyarakat yang beragam. Ditinjau dari relevansi seni sebagai media pengembangan kreativitas, sifatsifat imaginasi dan permainan yang melekat pada seni menegaskan suatu kebebasan berkhayal serta dalam bentuk pengungkapannya. Disiplin seni adalah disiplin yang ‘membebaskan’, disiplin yang senantiasa lebih baik dari pada tidak disiplin dan/atau disiplin ketat tanpa hati nurani. Itulah sebabnya mengapa pendidikan seni ditempatkan sebagai bagian dalam pendidikan secara umum.
Pada tingkatan sosial, pendidikan ekspresi estetika seyogyanya mampu meyadarkan peserta didik bahwa bentuk-bentuk visual yang mereka cipta membantu mengungkapkan identitas mereka, juga keanggotaan mereka dalam suatu kelompok/masyarakat. Bentuk-bentuk visual juga dalam banyak hal menandai peristiwaperistiwa penting dalam kehidupannya, sekaligus merefleksikan kebutuhan fisik dan ekspresif dalam kehidupan sehari-hari. Tugas guru seni budaya adalah membantu peserta didik menjadi sadar tentang aneka ragam bentuk rupa, sehingga dengan demikian mereka mampu membentuk dan mengekspresikan perasaannya sesuai dengan konteks sumberdaya sosial dan budaya yang menjadi lingkungannya.
Pendekatan kontruktivis dalam pembelajaran seni budaya sangat mustahil dilepaskan dari konteks kebudayaan daerah, mengingat seni merupakan salah satu produk budaya. Sebaliknya dengan pembelajaran ekspresi estetika yang di konstruk berbasis budaya akan menciptakan pembelajaran yang lebih bermakna, dan anak tidak tercerabut dari akar budayanya. Pentingnya konstruktivis atau kontekstualisasi pembelajaran seni tersebut juga dinyatakan oleh Kerry Freedman dalam artikelnya Artistic Developmen and Curiiculum: Sociocultural Learning Consideration yang menyatakan bahwa setiap pembelajaran terkait dengan konteks tertentu. Artinya, kegiatan pemberian pengalaman estetik idealnya harus dikaitkan dengan konteks sosiokultural yang melingkupinya. Karena pengalaman estetik yang dimiliki peserta didik akan dapat dijadikan modal awal bagi peserta untuk mengkonstruk pemahaman tentang seni. Dengan terlibat mengkonstruk sendiri sebuah konsep, anak akan lebih mudah memahami sesuatu konsep.
Peran pendidik dan peserta didik dapat dioptimalkan apabila konsep pendidikan seni kontekstual konsisten digunakan/dilaksanakan oleh seluruh elemen pendidikan, baik  yang terlibat langsung maupun tidak langsung dalam proses pembelajaran. Berdasarkan uraian di atas, diyakini konsep ini dapat memaksimalkan penggalian potensi peserta didik dalam proses pembelajaran seni, memacu pendidik untuk senantiasa inovatif dan meng-“update” kompetensinya, serta mendorong upaya pelestarian seni budaya lokal kepada generasi muda.=

Komentar

Postingan populer dari blog ini

untukmu pahlawanku

SARANA PUJA

penemuan komputer pertama